Kamis, 09 Juni 2011

Modul Mata Pelajaran Sejarah Untuk SMA


A.   UPAYA MEMPERSIAPKAN KEMERDEKAAN INDONESIA
1.     Persiapan Kemerdekaan Indonesia
Pada tanggal 1 Maret 1945 pemerintah pendudukan Jepang di Jawa yang dipimpin oleh Panglima tentara ke-16 Letnan Jenderal Kumakici Harada mengumumkan pembentukan Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tujuan pembentukan badan tersebut adalah menyelidiki dan mengumpulkan bahan-bahan penting tentang ekonomi, politik dan tata pemerintahan sebagai persiapan untuk kemerdekaan Indonesia.
Adapun keanggotaan yang terbentuk berjumlah 67, di antaranya 60 orang Indonesia, dan 7 orang Jepang, dengan ketua Dr. K.R.T. Radjiman Widiodiningrat dan wakilnaya R. Suroso dan di abntu seorang Jepang sebagai Ichi Bangase ditambah 7 anggota Jepang yang tidak memiliki suara.
Pada tanggal 29 Mei 1945 dilangsungkanlah upacara peresmian BPUPKI bertempat di Gedung Cuo Sangi In, Jalan Pejambon Jakarta, dihadiri oleh Panglima Tentara Jepang Wilayah Ketujuh Jenderal Izagaki dan Panglima Tentara Keenam Belas di Jawa Letnan Jenderal Nagano. Hal utama yang dibahas adalah dasar negara bagi negara Indonesia merdeka.
Selama masa tugasnya BPUPKI hanya mengadakan sidang dua kali. Sidang pertama dilakukan pada tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945 di gedung Chou Sang In di Jalan Pejambon 6 Jakarta yang sekarang dikenal dengan sebutan Gedung Pancasila. Pada sidang pertama, Dr. KRT.
Tidak ada pendidikan sehebat yang di berikan oleh pengalaman belajar
Rajiman Widyodiningrat selaku ketua dalam pidato pembukaannya menyampaikan masalah pokok menyangkut dasar negara Indonesia yang ingin dibentuk pada tanggal 29 Mei 1945.

Ada tiga orang yang memberikan pandangannya mengenai dasar negara Indonesia yaitu Mr. Muhammad Yamin, Prof. Dr. Supomo dan Ir. Soekarno.
1.      Orang pertama yang memberikan pandangannya adalah Mr. Muhammad Yamin. Dalam pidato singkatnya paa siding 29 Mei 1945, ia mengemukakan lima asas yaitu:
a.       Peri Kebangsaan
b.      Peri Kemanusiaan
c.       Peri Ketuhanan
d.      Peri Kerakyatan
e.       Kesejahteraan Rakyat

2.      Pada tanggal 31 Mei 1945, Prof. Dr. Soepomo dalam pidatonya mengusulkan pula lima asas yaitu:
1.      Persatuan
2.      Kekeluargaan
3.      Mufakat Dan Demokrasi
4.      Musyawarah
5.      Keadilan Sosial

3.      Pada sidang hari ketiga tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno mengusulkan lima dasar negara Indonesia merdeka yaitu:
1.      Kebangsaan Indonesia
2.      Internasionalisme dan peri kemanusiaan
3.      Mufakat atau demokrasi
4.      Kesejahteraan Sosial
5.      Ketuhanan yang Maha Esa.
Kelima asas dari Ir. Soekarno itu disebut Pancasila yang menurut beliau dapat diperas menjadi Tri Sila atau Tiga Sila yaitu:
v  Sosionasionalisme
v  Sosiodemokrasi
v  Ketuhanan yang berkebudayaan
Bahkan menurut Ir. Soekarno Trisila tersebut di atas masih dapat diperas menjadi Eka sila yaitu sila Gotong Royong.
Meskipun sudah ada tiga usulan tentang dasar negara, namun sampai 1 Juni 1945 sidang BPUPKI belum berhasil mencapai kata sepakat tentang dasar negara. Maka diputuskan untuk membentuk panitia khusus yang di sebut Panitia Sembilan atau panitia kecil yang diserahi tugas untuk membahas dan merumuskan kembali usulan dari anggota, baik lisan maupun tertulis dari hasil sidang pertama. Panitia khusus ini yang dikenal dengan Panitia 9 atau panitia kecil yang terdiri dari:
1.      Ir. Soekarno (ketua)
2.      Drs. Moh. Hatta (wakil ketua)
3.      KH. Wachid Hasyim (anggota)
4.      Abdoel Kahar Muzakar (anggota)
5.      A.A. Maramis (anggota)
6.      Abikoesno Tjokrosoeyoso (anggota)
7.      H. Agus Salim (anggota)
8.      Mr. Achmad Soebardjo (anggota)
9.      Mr. Muhammad Yamin (anggota).
Pada tanggal 22 Juni 1945, Panitia Sembilan mengadakan pertemuan. Hasil dari pertemuan tersebut, direkomondasikan Rumusan Dasar Negara yang dikenal dengan Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang berisi:
1.      Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya;
2.      Kemanusiaan yang adil dan beradab;
3.      Persatuan Indonesia;
4.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan;
5.      Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Piagam Jakarta ahirnya mencadi mukadimah UUD 1945, akan tetapi pada sila pertama di lakukan perubahan, yaitu dari “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pada tanggal 7 Agustus 1945, BPUPKI atau Dokurtsu Junbi Cosakai dibubarkan oleh Jepang karena dianggap terlalu cepat mewujudkan kehendak Indonesia merdeka dan mereka menolak adanya keterlibatan pemimpin pendudukan Jepang dalam persiapan kemerdekaan Indonesia.
Pada tanggal itu pula dibentuk PPKI atau Dokuritsu Junbi Inkai, dengan anggota berjumlah 21 orang terdiri dari 12 orang dari Jawa, 3 orang dari Sumatra, 2 orang dari Sulawesi, 1 orang dari Kalimantan, 1 orang dari Nusa Tenggara, 1 orang dari Maluku, 1 orang dari Tionghoa. PPKI berketuakan Suekarno dan wakil ketua M.Hatta. secara diam-diam PPKI di ambil alih oleh pimpinan bangsa Indonesia sehingga menjadi milik bangsa Indonesia dengan menambah keanggotaannya menjadi 27 orang.
2.     Landasan Dasar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Landasan nasional kemerdekaan inonesia tercermin dalam pembukaan UUD 1945, sekaligus merupakan deklarasi kemerdekaan Indonesia.
Landasan dasar internasional untuk memperkuat kedudukan negra Indonesia merdeka dan sebagai bukti-bukti Internasional tentang hak-hak dari segala bangsa-bangsa yang ada di muka bumi ini, maka dapat di teliti deklerasi-deklerasi dunia maupun piagam-piagam bersejarah seperti:
1.      Piagam Atlantik (Atlantic Charter), 14 Agustus 1941 yang di tandatangani oleh Franklin Delano Roosevelt (presiden Amerika) dengan Winston Churchill (perdana menteri Inggris). Isi pokok piagam tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Tidak ada perluasan daerah tanpa persetujuan penduduk asli.
b.      Setiap Negara berhak menentukan dan menetapkan bentuk pemerintahannya sendiri.
c.       Setiap bangsa berhak mendapat kesempatan untuk bebas dari rasa takut dan bebas dari kemiskinan.
2.      Piagam Fransisco, adalah piagam PBB yang di resmikan dan di tandatangani oleh 50 negara sebagai Negara pertama yang menjadi anggotanya. Dlam piagam ini di sebutkan:
“ . . . . . kami akan meneguhkan keyakinan akan dasar-dasar hak manusia sebagai manusia sesuai dengan harkat dan derajat manusia berdasarkann atas hak-hak yang sama . . . serta berusaha memajuakan rakyat dan tingkat kehidupan yang lebih baik dalam suasana kemerdekaan yang lebih luas”.
     
      Berdasarkan kedua piagam itu, maka Indonesia berhak menentukan nasib sendiri, berhak untuk bebas dari kemiskinan serta rasa takut. Dan berdasrkan piagam ini pula kemerdekaan Indonesia memiliki kedudukan yang kuat, baik secara nasional maupun secara Internasional.            
B.   PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA
1.     Peristiwa Rengasdengklok
Tanggal 14 Agustus 1945 menjadi tanggal yang cukup bermakna terutama bagi persiapan kemerdekaan RI. Bagaimana tidak, pada tanggal inilah Pasukan Jepang menyerah tanpa syarat kepada pihak sekutu.

Berita ini diketahui oleh kalangan pemuda bangsa Indonesia di Bandung, 15 Agustus 1945 melalui berita siaran radio BBC (British Broadcasting Corporation) London.
Pada tanggal 15 Agustus 1945, Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta baru saja kembali ke tanah air setelah memenuhi panggilan Panglima Mandala Asia Tenggara, Marsekal Terauchi di Saigon, Vietnam. Para pemuda yang tergabung dalam gerakan baru langsung mengadakan pertemuan setelah mendengarkan berita kekalahan Jepang. Pada hari tiu juga jam 20.00, para pemuda berkumpul di ruang belakang laboratorium bakteriologi, jalan Pebangsaan Timur, Jakarta di bawah pimpinan Chaerul Saleh. Mereka berpendapat kemerdekaan merupakan hak dan masalah rakyat Indonesia yang tidak bergantung kepada bangsa dan Negara lainnya.
Maka di utuslah dua perwakilan dari golongan muda untuk menemui Suekarno untuk mengusulkan supaya proklamasi harus segera di laksanakan. Sekitar pukul 12.00 kedua utusan meninggalkan halaman rumah Ir. Sukarno dengan diliputi perasaan kesal memikirkan sikap dan perkataan sukarno-Hatta. Sesampainya mereka di tempat rapat, mereka melaporkan semuanya. Menanggapi hal itu  kembali golongan muda mengadakan rapat dini hari tanggal 16 Agustus 1945 di asrama Baperpi, Jalan Cikini 71, Jakarta. Selain dihadiri oleh para pemuda yang mengikuti rapat sebelumnya, rapat ini juga dihadiri juga oleh Sukarni, Jusuf Kunto, dr. Muwardi dari Barisan Pelopor dan Shudanco Singgih dari Daidan PETA Jakarta Syu. Rapat ini membuat keputusan “menyingkirkan Ir. Sukarno dan Drs. Moh. Hatta ke luar kota dengan tujuan untuk menjauhkan mereka dari segala pengaruh Jepang”. Untuk menghindari kecurigaan dari pihak Jepang, Shudanco Singgih mendapatkan kepercayaan untuk melaksanakan rencana tersebut.
Rencana ini berjalan lancar karena mendapatkan dukungan perlengkapan Tentara PETA dari Cudanco Latief Hendraningrat yang pada saat itu sedang menggantikan Daidanco Kasman Singodimedjo yang sedang bertugas ke Bandung. Maka pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04.30 waktu Jawa sekelompok pemuda membawa Ir. Sukarno dan Drs. Moh. Hatta ke luar kota menuju Rengasdengklok, sebuah kota kawedanan di pantai utara Kabupaten Karawang. Alasan yang mereka kemukakan ialah bahwa keadaan di kota sangat genting, sehingga keamanan Sukarno-Hatta di dalam kota sangat dikhawatirkan. Tempat yang dituju merupakan kedudukan sebuah cudan (kompi) tentara PETA Rengasdengklok dengan komandannya Cudanco Subeno.
Sehari penuh Sukarno dan Hatta berada di Rengasdengklok. Kewibawaan yang besar dari kedua tokoh ini membuat para pemuda segan untuk melakukan penekanan lebih jauh. Namun dalam suatu pembicaraan berdua dengan Ir. Sukarno, Shudanco Singgih beranggapan Sukarno bersedia untuk menyatakan proklamasi segera setelah kembali ke Jakarta. Oleh karena itulah Singgih pada tengah hari itu kembali ke Jakarta untuk menyampaikan rencana proklamasi kepada kawan-kawannya.
Sementara itu di Jakarta para anggota PPKI yang diundang rapat pada tanggal 16 agustus memenuhi undangannya dan berkumpul di gedung Pejambon 2. Akan tetapi rapat itu tidak dapat dihadiri oleh pengundangnya Sukarno-Hatta yang sedang berada di Rengasdengklok. Oleh karena itu mereka merasa heran. Satu-satu jalan untuk mengetahui mereka adalah melalui Wikana salah satu utusan yang bersitegang dengan Sukarno-Hatta malam harinya. Oleh karena itulah Mr. Ahmad Subardjo mendekati Wikana. Selanjutnya antara kedua tokoh golongan tua dan tokoh golongan muda itu tercapai kesepakatan bahwa Proklamasi Kemerdekaan harus dilaksanakan di Jakarta. Karena adanya kesepakatan itu, maka Jusuf Kunto dari golongan muda bersedia mengantarkan Mr. Ahmad Subardjo bersama sekretarisnya, Sudiro (Mbah) ke Rengasdengklok. Rombongan ini tiba pada pukul 18.00 waktu Jawa. Selanjutnya Ahmad Subardjo memberikan jaminan dengan taruhan nyawa bahwa Proklamasi Kemerdekaan akan diumumkan pada keesokan harinya tanggal 17 Agustus 1945 selambat-lambatnya pukul 12.00. Dengan adanya jaminan itu, maka komandan kompi PETA Rengasdengklok, Cudanco Subeno bersedia melepaskan Ir. Sukarno dan Drs. Moh Hatta kembali ke Jakarta.
2.    
Perumusan Teks Proklamasi
Rombongan tiba kembali di Jakarta pada pukul 23.30 waktu Jawa. Setelah Sukarno dan Hatta singgah di rumah masing-masing rombongan kemudian menuju ke rumah Laksamana Maeda di Jalan Imam Bonjol No. 1, Jakarta (sekarang Perpustakaan Nasional).
Hal itu juga disebabkan Laksamana Tadashi Maeda telah menyampaikan kepada Ahmad Subardjo  (sebagai salah satu pekerja di kantor Laksamana Maeda) bahwa ia menjamin keselamatan mereka selama berada di rumahnya.
Sebelum mereka memulai merumuskan naskah proklamasi, terlebih dahulu Sukarno dan Hatta menemui Somubuco (Kepala Pemerintahan Umum) Mayor Jenderal Nishimura, untuk menjajagi sikapnya mengenai Proklamasi Kemerdekaan. Mereka ditemani oleh Laksamana Maeda, Shigetada Nishijima dan Tomegoro Yoshizumi serta Miyoshi sebagai penterjemah. Pertemuan itu tidak mencapai kata sepakat. Nishimura menegaskan bahwa garis kebijakan Panglima Tentara Keenambelas di Jawa adalah “dengan menyerahnya Jepang kepada sekutu berlaku ketentuan bahwa tentara Jepang tidak diperbolehkan lagi merubah status quo (status politik Indonesia). Sejak tengah hari sebelumnya tentara Jepang semata-mata sudah merupakan alat Sekutu dan diharuskan tunduk kepada sekutu”. Berdasarkan garis kebijakan itu Nishimura melarang Sukarno-Hatta untuk mengadakan rapat PPKI dalam rangka proklamasi kemerdekaan.
Sampailah Sukarno-Hatta pada kesimpulan bahwa tidak ada gunanya lagi membicarakan kemerdekaan Indonesia dengan pihak Jepang. Akhirnya mereka hanya mengharapkan pihak Jepang tidak menghalang-halangi pelaksanaan proklamasi yang akan dilaksanakan oleh rakyat Indonesia sendiri. Maka mereka kembali ke rumah Laksamana Maeda. Sebagai tuan rumah Maeda mengundurkan diri ke lantai dua. Sedangkan di ruang makan, naskah proklamasi dirumuskan oleh tiga tokoh golongan tua, yaitu : Ir. Sukarno, Drs. Moh. Hatta dan Mr. Ahmad Subardjo. Peristiwa ini disaksikan oleh Miyoshi sebagai orang kepercayaan Nishimura, bersama dengan tiga orang tokoh pemuda lainnya, yaitu : Sukarni, Mbah Diro dan B.M. Diah. Sementara itu tokoh-tokoh lainnya, baik dari golongan muda maupun golongan tua menunggu di serambi muka.
Ir. Sukarno yang menuliskan konsep naskah proklamasi, sedangkan Drs. Moh. Hatta dan Mr Ahmad Subardjo menyumbangkan pikiran secara lisan. Kalimat pertama dari naskah proklamasi merupakan saran dari Mr. Ahmad Subardjo yang diambil dari rumusan BPUPKI. Sedangkan kalimat terakhir merupakan sumbangan pikiran dari Drs. Moh. Hatta. Hal itu disebabkan menurut beliau perlu adanya tambahan pernyataan pengalihan kekuasaan (transfer of sovereignty).
Pada pukul 04.30 waktu Jawa konsep naskah proklamasi selesai disusun. Selanjutnya mereka menuju ke serambi muka menemui para hadirin yang menunggu. Ir. Sukarno memulai membuka pertemuan dengan membacakan naskah proklamasi yang masih merupakan konsep tersebut. Ir. Sukarno meminta kepada semua hadirin untuk menandatangani naskah proklamasi selaku wakil-wakil bangsa Indonesia. Pendapat itu diperkuat oleh Moh. Hatta dengan mengambil contoh naskah “Declaration of Independence” dari Amerika Serikat. Usulan tersebut ditentang oleh tokoh-tokoh pemuda. Karena mereka beranggapan bahwa sebagian tokoh-tokoh tua yang hadir adalah “budak-budak” Jepang. Selanjutnya Sukarni, salah satu tokoh golongan muda, mengusulkan agar yang menandatangani naskah proklamasi cukup Sukarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Setelah usulan Sukarni itu disetujui, maka Ir. Sukarno meminta kepada Sajuti Melik untuk mengetik naskah tulisan tangan Sukarno tersebut, dengan disertai perubahan-perubahan yang telah disepakati.
Selanjutnya timbul persoalan dimanakah proklamasi akan diselenggarakan. Sukarni mengusulkan bahwa Lapangan Ikada (sekarang bagian tenggara lapangan Monumen Nasional) telah dipersiapkan bagi berkumpulnya masyarakat Jakarta untuk mendengar pembacaan naskah Proklamasi. Namun Ir. Sukarno menganggap lapangan Ikada adalah salah satu lapangan umum yang dapat menimbulkan bentrokan antara rakyat dengan pihak militer Jepang. Oleh karena itu Bung Karno mengusulkan agar upacara proklamasi dilaksanakan di rumahnya, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 dan disetujui oleh para hadirin.


3.     Pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
Pengibaran Sangsaka Merah Putih
 17 Agustus 1945
 
Pada pukul 05.00 waktu Jawa tanggal 17 Agustus 1945, para pemimpin Indonesia dari golongan tua dan golongan muda keluar dari rumah Laksamana Maeda. Mereka telah sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan pada pukul 10.30 waktu Jawa atau pukul 10.00 WIB sekarang.


Sebelum pulang Bung Hatta berpesan kepada para pemuda yang bekerja di kantor berita dan pers, utamanya B.M. Diah untuk memperbanyak teks proklamasi dan menyiarkannya ke seluruh dunia.
Setelah naskah proklamasi kemerdekaan berhasil disusun, timbul persoalan yang harus segera dipecahkan. Dimanakah proklamasi akan dilaksanakan? Sukarni menjawab pertanyaan itu dengan mengatakan bahwa lapangan Ikada telah dipersiapan untuk pelaksanaan proklamasi. Namun Ir. Soekarno tidak menyetujui tempat itu. Alasannnya, tempat tersebut merupakan tempat umum, sehingga mungkin sekali timbul bentrokan antara rakyat dengan pasukan Jepang. Oleh karena itu, ia mengusulkan supaya upacara proklamasi dilaksanakan di depan rumahnya, yaitu jalan pegangsaan timur No.56, pada hari Jumat 17 Agustus 1945 pukul 10.00 WIB. Peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia memiliki makna yang luas dan dalam bagi bangsa Indonesia, antara lain sebagai berikut:
1.      Merupakan titik kulminasi perjuangan bangsa Indonesia dalam rangka mencapai kemerdekaan yang berlangsung lebih kurang 400 tahun.
2.      Merupakan awal terbebasnya bangsa Indonesia dari kekuasaan bangsa asing dan menjadi bangsa yang berdiri sendiri.
3.      Merupakan sumber hukum yang menegaskan mulai berdirinya negara kesatuan RI yang merdeka dan berdaulat.
4.      Merupakan momentum politik terbebasnya bangsa Indonesia dari kekuasaan bangsa lain, dan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang sederajat dengan bangsa lain di dunia
 
Pagi hari itu, rumah Ir. Sukarno dipadati oleh sejumlah massa pemuda yang berbaris dengan tertib. Untuk menjaga keamanan upacara pembacaan proklamasi, dr. Muwardi (Kepala Keamanan Ir. Sukarno) meminta kepada Cudanco Latief Hendraningrat untuk menugaskan anak buahnya berjaga-jaga di sekitar rumah Ir. Sukarno. Sedangkan Wakil Walikota Suwirjo memerintahkan kepada Mr. Wilopo untuk mempersiapkan  pengeras suara.



Untuk itu Mr. Wilopo dan Nyonopranowo pergi ke rumah Gunawan pemilik toko radio Satria di Jl. Salemba Tengah 24, untuk meminjam mikrofon dan pengeras suara. Sudiro yang pada waktu itu juga merangkap sebagai sekretaris Ir. Sukarno memerintahkan kepada S. Suhud (Komandan Pengawal Rumah Ir. Sukarno) untuk menyiapkan tiang bendera. Suhud kemudian mencari sebatang bambu di belakang rumah. Bendera yang akan dikibarkan sudah dipersiapkan oleh Nyonya Fatmawati.





Menjelang pukul 10.30 para pemimpin bangsa Indonesia telah berdatangan ke Jalan Pegangsaan Timur. Diantara mereka nampak Mr. A.A. Maramis, Ki Hajar Dewantara, Sam Ratulangi, K.H. Mas Mansur, Mr. Sartono, M. Tabrani, A.G. Pringgodigdo dan sebagainya. Adapun susunan acara yang telah dipersiapkan adalah sebagai berikut:
1.      Pertama, Pembacaan Proklamasi;
2.      Kedua, Pengibaran Bendera Merah Putih;
3.      Ketiga, Sambutan Walikota Suwirjo dan Muwardi.
Pembacaan Teks
Proklamasi
Lima menit sebelum acara dimulai, Bung Hatta datang dengan berpakaian putih-putih. Setelah semuanya siap, Latief Hendraningrat memberikan aba-aba kepada seluruh barisan pemuda dan mereka pun kemudian berdiri tegak dengan sikap sempurna.
Selanjutnya Latif mempersilahkan kepada Ir. Sukarno dan Moh. Hatta. Dengan suara yang mantap Bung Karno mengucapkan pidato pendahuluan singkat yang dilanjutkan dengan pembacaan teks proklamasi.
Acara dilanjutkan dengan pengibaran bendera Merah Putih. S. Suhud mengambil bendera dari atas baki yang telah disediakan dan mengikatkannya pada tali dengan bantuan Cudanco Latif Hendraningrat. Bendera dinaikkan perlahan-lahan. Tanpa dikomando para hadirin spontan menyanyikan Indonesia Raya. Acara selanjutnya adalah  sambutan dari Walikota Suwirjo dan dr. Muwardi.
C.   PENYEBARLUASAN BERITA PROKLAMASI
1.    
Penyebarluasan Berita Proklamasi
Setelah kemerdekaan diproklamirkan bukan berarti perjuangan bangsa sudah selesai, tetapi tetap berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan yang sudah diperoleh.
Sambutan meriah daerah-daerah di tanah air pasca kemerdekaan sebagai wujud kegembiraannya yang telah lma diperjuangkan ditunggu-tunggu telah tiba.
Hai ini tidak terlepas dari peran para tokoh yang berjuang menyebarkan berita Proklamasi Kemerdekaan. Sarana penyebaran berita Proklamasi Berita proklamasi yang telah meluas di Jakarta segera disebarluaskan keseluruh wilayah Indonesia bahkan keseluruh dunia. Penyebarluasan berita itu dilakukan melalui sarana-sarana berikut:
1.      Kantor berita Domei
2.      Radio
3.      Kawat telepon
4.      Surat kabar ( Pers )
5.      Anggota PPKI dari daerah
6.      Sarana lain ( pamflet, poster, dan coretan pada tembok-tembok )

Walaupun demikian para tokoh pemuda tidak kehilangan akal. Mereka membuat pemancar baru dengan bantuan beberapa orang tehnisi radio, seperti : Sukarman, Sutamto, Susilahardja dan Suhandar. Sedangkan alat-alat pemancar mereka ambil bagian-demi bagian dari kantor betita Domei, kemudian dibawa ke Jalan Menteng 31. Maka terciptalah pemancar baru di Jalan Menteng 31. Dari sinilah seterusnya berita proklamasi disiarkan.
Selain lewat radio, berita proklamasi juga disiarkan lewat pers dan surat selebaran. Hampir seluruh harian di Jawa dalam penerbitannya tanggal 20 Agustus 1945 memuat berita proklamasi dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Berita proklamasi yang sudah meluas di seluruh Jakarta disebarkan ke seluruh Indonesia. Pagi hari itu juga, teks proklamsi telah sampai di tangan Kepala Bagian Radio dari Kantor Berita Domei, Waidan B. Palenewen. Segera ia memerintahkan F. Wuz untuk menyiarkan tiga kali berturut-turut. Baru dua kali F. Wuz menyiarkan berita itu, masuklah orang Jepang ke ruangan radio. Dengan marah-marah orang Jepang itu memerintahkan agar penyiaran berita itu dihentikan. Tetapi Waidan memerintahkan kepada F. Wuz untuk terus menyiarkannya. Bahkan berita itu kemudian diulang setiap setengah jam sampai pukul 16.00 saat siaran radio itu berhenti. Akibatnya, pucuk pimpinan tentara Jepang di Jawa memerintahkan untuk meralat berita itu. Dan pada hari Senin tanggal 20 Agustus 1945 pemancar itu disegel dan pegawainya dilarang masuk.

2.     Dukungan Rakyat Terhadap Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
a.     
Rapat Raksasa Di Lapangan Ikada
Pada tanggal 19 September 1945 di adakan rapar rakasa di lapangan Ikada (Ikatan Atletik Djakarta), yang bertujuan supaya pemimpin bangsa Indonesia dapat berbicara langsung di hadapan rakyat Indonesia. Rapat di lapangan Ikada ini di pelopori oleh para pemuda, mereka telah siap menerima perintah dari para pemimpin bangsa, tapi perintah tang di tunggu tidak kunjung datang hingga 19 agustus 1945.
Para Pemuda-Mahasiswa mendesak terus agar Presiden segera berangkat ke Ikada. Mereka mengatakan bahwa tidak akan bertanggung jawab kalau masa berbuat sesuatu diluar kontrol, padahal rakyat hanya menginginkan kedatangan para pemimpinya untuk menyampaikan amanat sebagai kelanjutan Proklamasi. Sebagai jaminan Pemuda-Mahasiswa akan menjaga keselamatan para anggota kabinet tersebut. Ahirnya Presiden Sukarno mengambil keputusan akan ke Ikada. Presiden Sukarno dikawal Pemuda-Mahasiswa dengan menggunakan mobil menuju lapangan Ikada dengan lebih dahulu mampir di Asrama Prapatan 10 Jakarta karena akan bertukar pakaian. Ketika Presiden tiba rombongannya ditahan oleh sejumlah perwira Jepang utusan dari Jenderal Mayor Nishimura yaitu yang dipimpin oleh Let.Kol Myamoto. Jelas ini bukan Kempetai dan menggambarkan Jepang memakai kebijaksanaan lunak. Dalam pembicaraan tersebut Presiden menjamin akan mampu mengendalikan massa meskipun nampaknya massa rakyat sudah siap bentrok fisik. Hal ini dapat terlihat dimana rakyat yang mempersenjatai diri dengan bambu runcing, golok, tombak dan sebagainya.
Ternyata Presiden hanya bebicara tidak lebih dari lima menit lamanya. Yang isinya : Percayalah rakyat kepada Pemerintah RI. Kalau saudara-saudara memang percaya kepada Pemerintah Republik yang akan mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan itu, walaupun dada kami akan dirobek-robek, maka kami tetap akan mempertahankan Negara Republik Indonesia. Maka berilah kepercayaan itu kepada kami dengan cara tunduk kepada perintah-perintah dan tunduk kepada disiplin. Setelah pidato Presiden selesai rakyat yang sudah bertahan di Ikada selama lebih dari 10 jam ahirnya bubar dengan teratur tampa menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Padahal kalau diperhitungkan massa yang besar tersebut sudah bersifat ancaman (prediksi) terjadinya konflik fisik yang mungkin dapat memunculkan pertumpahan darah yang tidak terkira. Nampaknya semua pihak puas. Rakyat puas atas kemunculan Presiden dan para menterinya. Demikian pula Pemerintah senang karena dapat memenuhi tuntutan pemuda mahasiswa. Lebih-lebih Jepang yang terhindar dari sikap serba salah. Rupanya mereka takut mendapat sangsi pihak sektu kalau tidak mampu mengatasi keadaan Jakarta dari keadaan yang teteram dan damai.
Persiapan penyelenggaraan Rapat raksasa itu di lakukan secara berating oleh organisasi pemuda, BKR, Barisan Pelopor, Pamong Desa, API, RT, Pelajar dan Hisbullah. Rapat di lapangan Ikada ini mengalami banyak hambatan, seperti:
a.       Tanggal 16 agustus1945, jepang melarang pelaksanaan rapat-rapat.
b.      Adanya Pro dan Kontra di kalangan menteri, karena larangan dari Jepang itu.
c.       Lapangan Ikada di jaga ketat oleh Tank, pasukan pejalan kaki dan pasukan jepang yang di lengkapi dengan bayonet dalam radius satu kilometer.

Arti dan makna rapat raksasa ikada 19 september 1945, yaitu:
a.       Sebagai titik pangkal dukungan politik dan kesetiaan rakyat secara langsung atas telah berdirinya NKRI pada tanggal 17 Agustus 1945. Sebagai realisasi amanat Proklamasi, rakyat kemudian melakukan pemindahan kekuasaan dari tangan Jepang termasuk pengambil alihan semua fasilitas pemerintahan.
b.      Kesetiaan rakyat ini merupakan awal dari gerakan mempertahankan kemerdekaan selanjutnya. Tindakan yang segera dilakukan adalah pengambil alihan fasilitas militer dari Jepang. Dan setelah September 1945, muncullah perlawanan bersenjata rakyat terhadap kaum penjajah diberbagai daerah seperti, pertempuran Surabaya, disekitar Jakarta, Bandung lautan Api, pertempuran 5 hari di Semarang, di Magelang, Ambarawa, di Palembamg, di Medan dan masih banyak lagi.
c.       Pihak sekutu yang wakil-wakilnya sudah mulai berdatangan ke Indonesia, melihat bahwa informasi Pemerintah Hindia-Belanda dipengasingan tidak benar bahwa Pemerintah RI yang baru berdiri hanya semata-mata bikinan Jepang atau merupakan boneka Jepang. Pemerintah RI adalah Pemerintah sah yang legitimate yang didukung rakyat. Dan rakyat Indonesia tidak bersedia untuk dijajah kembali. Kekhawatiran pihak sekutu terutama pada keselamatan ratusan ribu kaum interniran yang berada dipedalaman. Mereka masih bertanya-tanya langkah apa yang terbaik yang harus dilakukan. Melihat kepatuhan rakyat dalam Rapat Raksasa Ikada ini kepada Soekarno, mereka mengambil sikap untuk mengajak kerja sama pemerintah RI dalam penyelesaian pengangkutan Jepang dan evakuasi para interniran dan mengumpulkannya di Jakarta. Panitia kerja sama Inggris-Indonesia ini dalam tahun 1946 resmi bernama Panitia Oeroesan Pengangkutan Djepang Dan Apwi (POPDA).
b.      Pernyataan Sri Sultan Hamengku Buwono IX
Dalam upaya RI yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Sri Sultan Hamingku Bowono IX sebagai Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat memberikan dukugan terhadap proklamasi Indonesia. Pada tanggal 5 September 1945, di Yoyagyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono menyatakan dukugan terhadap proklamasi kemerdekaan RI. Pernyataan tersebut sebagai berikut:

Kami Sri Sultan Hamengku Bowono IX, Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat menyatakan: 
1.      Bahwa negeri Ngayogyakarta Hadiningrat bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari Negara RI.
2.      Bahwa sultan Ngayogyakarta sebagai kepala daerah memegang kekuasaan dalam negeri Yogyakarta Hadiningrat.
3.      Bahwa perhubungan antara negeri Yogyakarta Hadiningrat dengan pemerintah pusat RI bersifat langsung, dan sultan Yogyakarta bertanggung jawab atas negeri Yogyakarta langsung kepada Presiden RI.

Kami memerintahkan supaya segenap penduduk dalam negeri Nyayogyakarata Hadiningrat mengindahkan amanat kami ini.

Ngayogyakarta Hadiningrat, 26 Puasa Ehe, 1876 (1 September 1945)

Hamengku Buwono IX

Dengan pernyataan tersebut, maka Yogyakarta dengan resmi menjadi bagian wilayah kekuasaan NKRI dengan kedudukan sebagai daerah istimewa. Pernyataan ini mendapat sambutan dari seluruh rakyak Indonesia.

3.     Tindakan-Tindakan Heroik di Berbagai Kota
a.     
Surabaya
Selama September 1945, terjadi perebutan senjata di arsenal (gudang mesiu) Don Bosco dan perebutan markas pertahanan di jawa timur. Selain tiu juga di lakukan perebutan atas pangkalan AL du ujung beserta markas tentara Jepang dan juga merebut pabrik-pabrik yang tersebar di seluruh kota. Tanggal 22 september 1945 terjadi insiden bendera di Hotel Yamato. Insiden itu terjadi ketika orang-orang Belanda bekas tawanan Jepang memduduki hotel tersebut dengan bantuan pasukan sekutu yang diterjunkan di Gunung Sari.
Orang-orang Belanda mengibarkan bendera di puncak bendera hotel Yamato. Peristiwa itu memancing kemarahan pemuda Indonesia. Hotel di serbu oleh pemuda Indonesia setelah permintaan Residen Soedirman untuk menurunkan Bendera di tolak oleh Belanda. Beberapa ornag penmudra akhirnya mengambil langkah keras, yaitu memanjat atap hotel dan menurunkan Bendera Belanda dengan menyobek warna biru dan menaikannya kembali edengan warna merah putih. Sasarn berikutnya adalah markas Kompetai yang di anggap sebagai lambing kekejaman pemerintah Jepang.                

b.      Yogyakarta
Di Yogyakarta perebutan kekuasaan secara serentak dimulai tanggal 26 September 1945. Sejak pukul 10 pagi semua pegawai instansi pemerintah dan perusahaan yang dikuasai Jepang melaksanakan aksi mogok. Mereka memaksa agar orang-orang Jepang menyerahkan aset dan kantornya kepada orang Indonesia. Tanggal 27 September 1945 Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta mengumumkan bahwa kekuasaan di daerah tersebut telah berada di tangan Pemerintah Republik Indonesia. Pada hari itu juga di Yogyakarta diterbitkan surat kabar Kedaulatan Rakyat.

c.       Semarang
Peristiwa ini terjadi di Semarang pada tanggal 14 Oktober 1945. Peristiwa itu berawal ketika 400 orang veteran AL Jepang yang akan dipekerjakan untuk mengubah pabrik gula Cepiring menjadi pabrik senjata memberontak ketika akan dipindahkan ke Semarang. Tawanan-tawanan tersebut menyerang polisi Indonesia yang mengawal mereka. Situasi bertambah hangat dengan meluasnya desas-desus bahwa cadangan air minum di desa Candi telah diracuni. Dr. Karyadi yang meneliti cadangan air minum tersebut meninggal ditembak oleh Jepang. Pertempuran mulai pecah dini hari tanggal 15 Oktober 1945 di Simpang Lima. Pertempuran berlangsung lima hari dan baru berhenti setelah pimpinan TKR berunding dengan pimpinan pasukan Jepang. Usaha perdamaian dipercepat dengan mendaratnya pasukan Sekutu di Semarang pada tanggal 20 Oktober 1945 yang kemudian menawan dan melucuti senjata tentara Jepang. Untuk mengenang keberanian para pemuda Semarang dalam pertempuran tersebut, maka dibangunlah Tugu Muda yang terletak di kawasan Simpang Lima, Semarang.
d.      Sulawesi Selatan
Pada tanggal 19 Agustus 1945, rombongan Dr. Sam Ratulangi, Gubernur Sulawesi, mendarat di Sapiria, Bulukumba. Setelah sampai di Ujungpandang, gubernur segera membentuk pemerintahan daerah. Mr. Andi Zainal Abidin diangkat sebagai Sekretaris Daerah. Tindakan gubernur oleh para pemuda dianggap terlalu berhatihati, kemudian para pemuda mengorganisasi diri dan merencanakan merebut gedung-gedung vital seperti studio radio dan tangsi polisi. Kelompok pemuda tersebut terdiri dari kelompok Barisan Berani Mati (Bo-ei Taishin), bekas kaigun heiho dan pelajar SMP. Pada tanggal 28 Oktober 1945 mereka bergerak menuju sasaran. Akibat peristiwa tersebut, pasukan Australia yang telah ada bergerak dan melucuti mereka. Sejak peristiwa tersebut gerakan pemuda dipindahkan dari Ujungpandang ke Polombangkeng.
e.       Kalimantan
Di beberapa kota di Kalimantan mulai timbul gerakan yang mendukung proklamasi. Akibatnya tentara Australia yang sudah mendarat atas nama Sekutu mengeluarkan ultimatum melarang semua aktivitas politik, seperti demonstrasi dan mengibarkan bendera Merah Putih, memakai lencana Merah Putih dan mengadakan rapat. Namun kaum nasionalis tidak menghiraukannya. Di Balikpapan tanggal 18 November 1945, tidak kurang 8.000 orang berkumpul di depan komplek NICA sambil membawa bendera Merah Putih.
f.       Sumbawa
Pada bulan Desember 1945, para pemuda Indonesia Sumbawa melakukan aksi. Mereka melakukan perebutan terhadap pos-pos milter Jepang, yaitu terjadi di Gempe, Sape dan Raba.

g.      Bali
Para pemuda Bali telah membentuk berbagai organisasi pemuda, seperti AMI, Pemuda Republik Indonesia (PRI) pada akhir Agustus 1945. Mereka berusaha untuk menegakkan Republik Indonesia melalui perundingan tetapi mendapat hambatan dari pasukan Jepang. Pada tanggal 13 Desember 1945 mereka melakukan gerakan serentak untuk merebut kekuasaan dari tangan Jepang, meskipun gerakan ini gagal.
h.      Biak
Pada tanggal 148 maret 1948 terjadi pemberontakan di Biak (papua) dengan sasaran kamp NICA dan tangsi Sorido. Pemberontakan ini gagal dan dua orang pemumpinnya di hukum mati.

i.        Banda Aceh
Pada tanggal 16 Oktober 1945, para pemuda dan tokoh masyarakat membentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API). Tapi tanggal 12 oktober 1945 Shukokan Jepang memanggil para pemimpin pemuda dan menyatakan walaupun Jepang kalah, keamanan dan ketertiban masih menjadi tanggung jawab Jepang dqan meminta agar semua kumpulan pemuda dib hentikan. Jepang juga mengancam akan membubarkan semua bentuk oprganisasi pemuda tersebut. Pimpinan pemuda menolak dengan keras dan pertemuan ini menjadi ajang perbedaaan pendapat antar kalangan pemuda dan pihak Jepang. Akhirnya para pemuda merebut dan mengambil alih kantor pemerintahan dengan mengibarkan bendera merah putih. Pelucutan senjata Jepang terjadi di beberapa tempat dan bentrokan juga terjadi didaerah Langsa, Lho Naga, Ulee Lheue, dan tempatlainnya di Aceh.
  
j.        Sumatra Selatan
Dukungan dan perebutan kekuasaan terjadi di Sumatra Selatan pada tanggal 8 Oktober 1945, ketika Residen Sumatra Selatan dr. A.K. Gani bersama seluruh pegawai Gunseibu dalam suatu upacara menaikkan bendera Merah Putih. Setelah upacara selesai, para pegawai kembali ke kantornya masing-masing. Pada hari itu juga diumumkan bahwa di seluruh Karesidenan Palembang hanya ada satu kekuasaan yakni kekuasaan Republik Indonesia. Perebutan kekuasaan di Palembang berlangsung tanpa insiden, sebab orang-orang Jepang telah menghindar ketika terjadi demonstrasi.

D.   PEMBENTUKAN PEMERINTAHAN DAN KELENGKAPAN RI
1.     Proses Terbentuknya Negara dan Pemerintahan Indonesia
Pada tanggal 18 agustus 1945 menyelenggarakan siding pertama kali di pimpin oleh Ir. Suekarno. Yang di bahas merupakan kelanjutan sidang tanggal 10-16 Juli 1945. Keputusan yang di capai adalah sebagai berikut:
a.       Mengesahkan rancangan undang-undang dasar negaramenjadi UUD RI. Yang di kenal sebagai UUD 19445.
b.      Memilih dan mengangkat presiden dan wakil presiden pelaksana pemerintahan yang sah dari RI yang baru berdiri. Selanjutnya PPKI memilih dan mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden dan Drs. Mohammad Hatta sebagai wkil presiden.
c.       Membentuk komite nasioal Indonesia sebagai lembaga yang membantu presiden dalam melaksanakan tugas-tugasnya sebelum terbentuknya DPR melalui Pemilu.

Siding PPKI tanggal 18 agustus berjalan lancar dan berhasil membentuk dan mengesahkan UUD 1945, memilih dan mengangkat presiden dan wakil presiden serta membentuk komite nasional Indonesia. Sejak tanggal 18 agustus 1945 RI telah memiliki sistem kemerdekaan yang sah dan di akui oleh seluruh rakyat Indonesia.
2.     Pembentukan Lembaga-Lembaga Kelengkapan Negara
a.      Pembentukan Lembaga Kementerian (Departemen)
Departemen yang dibentuk serta menteri yag dia ngakat adalah sebagai berikut:
1.      Departemen Dalam Negeri              : R.A.A.Wiranata Kusumah
2.      Departemen Luar Negeri                 : Mr. ahmad Subardjo
3.      Departemen Keuangan                    : Mr.A.A. Maramis
4.      Departemen Kehakiman                  : Prif. Mr. Dr. Suepomo
5.      Departemen Kemakmuran               : Ir. Surahman T Adisurjo
6.      Departemen Keamanan Rakyat       : Supriyadi
7.      Departemen Kesehatan                    : Dr. Buntaran Martoadmodjo
8.      Departemen Pengajaran                   : Ki Hajar Dewantara
9.      DepartemenPenerangan                   : Mr. Amir Syarifuddin
10.  Departemen Sosial                           : Mr. Iwa Kusumasumantri
11.  Departemen Pekerjaan Umum         : Abikusno Tjukrosujoso
12.  Departemen Perhubungan (a.i)        : Abikusno Tjukrosujoso

3.     Pembentukan Provinsi di Seluruh Wilayah Indonesia
Gubernur-gubernur yang diangkat anntara lain:
1.      Provinsi Sumatera                   : Teku Moh Hasan
2.      Provinsi Jawa Barat                : Sutarjo Kartohadikusumo
3.      Provinsi Jawa Timur                : RM Surjo
4.      Provinsi Jawa Tengah             : R. Panji Suroso
5.      Provinsi Sunda Kecil              : Mr. I Gusti Ketut Pudja
6.      Provinsi Maluku                      : Mr. J. Latuharhary
7.      Provinsi Sulawesi                    : Dr. G.S.S.J. Ratulangi
8.      Provinsi Kalimantan                : Ir. Pangeran Moh Noor


E.   PERJUANGAN MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN DI BERBAGAI DAERAH
4.     Pertempuran Surabaya
Berita akan mendaratnya Tentara Sekutu tanggal 25 Oktober 1945 di Surabaya dikawatkan pertama oleh Menteri Penerangan Amir Syarifuddin dari Jakarta. Dalam berita tersebut menteri menjelaskan tugas Tentara Sekutu di Indonesia, yaitu mengangkut orang Jepang yang sudah kalah perang, dan para orang asing yang ditawan pada zaman Jepang. Menteri berpesan agar pemerintah daerah di Surabaya menerima baik dan membantu tugas Tentara Sekutu tersebut.
Pada tanggal 25 oktober, kapal Inggris, Brigade 49 merapat di Tanjung Perak, di bawah pimpinan Brigadir Jenderal A.W.S  Mallaby, bertujuan untuk melucuti serdadu Jepang dan menyelamatkan para interniran sekutu. Stetelah Beberapa jam setelah kapal Inggris merapat di Tanjung Perak, dua orang perwira staf menemui Gubernur Soerjo. Utusan Mallaby itu mengundang Gubernur R.M Soerjo dan seorang wakil BKR agar bertemu dengan Mallaby di kapal untuk berunding. Undangan itu ditolak karena sebagai pejabat baru Gubernur Soerjo sedang memimpin rapat kerja pertama. Dalam rapat kilat yang diadakan kemudian, diputuskan untuk memberi mandat kepada Drg. Moestopo pimpinan BKR untuk berunding dengan pihak Inggris dan bertindak atas nama Pemerintah Jawa Timur.
Pertemuan Mallaby dengan Moestopo yang didampingi dr. Soegiri, pejuang Surabaya yang sangat aktif, Moh. Jasin, pimpinan Polisi Istimewa serta Bung Tomo, belum menghasilkan kesepakatan. Perundingan dilanjutkan 26 Oktober esoknya di gedung Kayoon ex gedung Konsulat Inggris. Pertemuan tersebut dihadiri Residen Soedirman, Ketua KNI Doel Arnowo, Walikota Radjamin Nasution dan HR Mohammad Mangundiprojo dari TKR (TKR = Tentara Keamanan Rakyat, resmi dibentuk tanggal 5 Oktober 1945, sebelumnya bernama BKR, Badan Keamanan Rakyat). Menghasilkan perjanjian, sebagai berikut:
1.      Inggris yang mendarat tidak disusupi pasukan Belanda.
2.      Tercapai bekerjasama Indonesia-Tentara Sekutu dengan membentuk Kontact Bureau.
3.      Yang akan dilucuti senjatanya hanyalah Jepang saja.

Sesuai dengan kesepakatan tersebut, pasukan Inggris diperkenankan memasuki kota dengan sarat hanya objek-objek yang sesuai saja yang boleh di duduki. Tapi dalam prateknya Inggris mengingkari janjinya. Tanggal 26 Oktober 1945 malam harinya satu pleton pasukan Field Security Section  di bawah pimpinan Kapten Shaw melakukan penyerangan ke penjara Kalisosok untuk membebaskan Kolonel Huiyer (kolonel angkatan laut Belanda) bersama teman-temannya. Dan Inggris melanjutkan dengan menduduki Pangkalan Udara Tanjung Perak, Kantor Pos Besar, Gedung Internatio dan obyek vital lainnya.
Esok harinya, 27 Oktober 1945 jam 11.00, pesawat Inggris menyebarkan pamflet, isinya menuntut dan mengancam, agar rakyat Surabaya dan Jawa Timur menyerahkan kembali kepada Inggris senjata dan peralatan perang mereka yang direbut dari tentara Jepang. Residen Soedirman dan drg. Moestopo segera memperingatkan Brigjen Mallaby, bahwa isi pamflet itu jelas bertentangan dengan perjanjian yang telah disetujui bersama. Rupanya Brigjen Mallaby sendiri juga tak tahu-menahu dengan pamflet yang berasal dari Markas Besar Tentara Inggris di Jakarta itu. Tetapi sebagai tentara harus tunduk pada putusan atasan.
Pada tanggal 27 oktober 1945 terjadi kontak senjata antar Pasukan Inggris dengan pasukan Indonesia. Pada tanggal 28 Oktober 1945 sekitar jam 17.00, di Markas Pertahanan Jl. Mawar 10, markas dan sekaligus tempat Studio Radio Pemberontakan pimpinan Bung Tomo, diselenggarakan pertemuan antara sejumlah pimpinan pasukan BKR dan pemimpin Badan Perjuangan Bersenjata. Dari pihak BKR yang hadir HR Mohammad Mangundiprojo, Sutopo dan Katamhadi, ketiganya mantan Daidancho Peta. Dari Badan Perjuangan Bersenjata yang hadir antara lain Soemarsono dari PRI (markas besarnya di Balai Pemuda), Bung Tomo dari BPRI. Putusan rapat mereka tidak mentolerir tindakan provokatif tentara Inggris. Mereka sepakat untuk segera melancarkan serangan terhadap kedudukan Inggris dengan perhitungan mumpung pasukan Inggris saat itu masih lemah, menduduki tempat yang terpencar-pencar.
Pada jam 05.00 mulailah perlawanan bangsa Indonesia. Sore itu juga, Soemarsono melalui radio pemberontakan di Jl. Mawar 10 mengumumkan kebulatan tekad pertempuran. Dalam pidato radionya ia antara lain menyatakan bahwa, “Tentara Inggris yang berkedok sebagai Tentara Sekutu itu sebenarnya adalah tentara penjajah yang membantu NICA untuk menghancurkan kemerdekaan bangsa Indonesia, karenanya harus dilawan!” Pidato Soemarsono segera disusul oleh pidato Bung Tomo yang sebagai orator ulung ia berhasil membakar semangat rakyat Surabaya khususnya dan rakyat Indonesia umumnya, untuk melawan tentara Inggris dan Belanda.
Sore hari itu Surabaya seperti kota mati. Jalan-jalan sunyi mencekam, menantikan datangnya badai pertempuran. Kesatuan TKR, atas perintah Moestopo dan Jososewojo, sejak tengah hari telah ditarik keluar kota, mempersiapkan lini kedua di Sepanjang mereka akan melaksanakan perang rahasia dan perang gerilya seperti yang diinstruksikan oleh Moestopo. Tetapi ketika pada malam harinya pertempuran pecah, mereka bergerak kembali ke kota.
Malam hari itu, tempat atau gedung yang diduduki oleh tentara Inggris, dikepung oleh rakyat Surabaya, seperti ceceran gula pasir dikerubungi semut. Pengepungan berlanjut sampai tiga hari. Pasukan Inggris yang terkepung, tidak bisa bergerak dari tempatnya, tidak bisa minta bantuan dari tempat lain, kehabisan peluru, air dan makanan. Bertahan pasti hancur, keluar tidak mungkin, pasti dihadang oleh rakyat Surabaya bersenjata sepanjang jalan. Rakyat Surabaya saat itu semangatnya bertempur berkobar-kobar, tidak perduli senjata apa saja yang bisa digunakan untuk melawan pasukan Inggris, senpi atau senjam. Bandha nekad! (bonek). Ada yang baru hari itu memiliki senapan, baru jam itu belajar menembak. Lalu kemaruk menembakkan senjata apinya. Sampai ada tentara Inggris yang jelas mati terapung di sungai, tetap saja diberondong peluru untuk latihan menembak tepat sasaran.
Melihat pasukannya tak berkutik akan hancur, Brigjen Mallaby panik. Dia harus bisa mencegah kehancuran semesta itu. Mallaby minta agar Presiden RI didatangkan di Surabaya. Dengan permintaan itu, tentara Inggris yang semula tidak mengakui adanya negara Republik Indonesia, jadi mengakui kedaulatan RI. Presiden Soekarno bersama Wakil Presiden Mohamad Hatta dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin terbang ke Surabaya 29 Oktober 1945 dengan pesawat RAF. Lapangan terbang Morokrembangan juga dikepung oleh rakyat Surabaya. Karena sudah tidak percaya lagi dengan omongan orang Inggris, maka Bung Tomo memerintahkan kalau yang turun bukan Bung Karno, ditembak mati saja. Kesepakatan berhasil di capai dengan ditandatangani oleh kedua belah piahak. Namun setelah Presiden Soekarno, Mohamad Hatta dan Amir Syarifuddin serta Hawthorn kembali ke Jakarta, pertempuran tidak dapat di elakkan lagi.
Pasukan Inggris kemudian menndatangkann bala bantuan dari divisi V di pimpin oleh Mayor Jenderal Mansergh dengan pasukan 24.000 orang. Pada tanggal 9 nopember inggris mengeluarkan ultimatum mengancam akan menggempur Surabaya dari darat, laut dan udara, bila orang Indonesia tidak mematuhi Ultimatum itu. Inggris juga mengeluarkan intruksi yang isinya semua pemimpin bangsa Indonesia dari semua pihak di kota Surabaya harus datang selambat-lambatnya tanggal 10 Nopember 1945 jam 06.00, pada tempat yang telah di tentukan dan membawa bendera Merah Putih dengan meletakkannya di atas tanah dengan jarak seratus meter dari tempat berdiri lalu mengangkat tangan tanda menyerah.
Tapi ultimatum tersebut tidak di turuti, Maka pagi hari tanggal 10 November 1945 terjadi pertempuran yang sangat dahsyat, Kota Surabaya digempur oleh pasukan Mansergh dari darat, laut dan udara.

5.     Pertempuran Ambarawa-Magelang
Pertempuran Ambarawa terjadi pada tanggal 20 Nopember-15 desember 1945. Peristiwa ini di latar belakangi oleh insiden di Magelang setelah mendaratnya Brigade Artileri dari divisi India ke-23 di semarang pada tanggal 20 oktober 1945. Pihak Indonesia memperkenankan mereka masuk ke wilayah RI untuk menngurus masalh tawanan perang bangsa Belanda yang ada di penjara Ambarawa dan Magelang. Akan tapi kedatangan mereka itu di ikuti oleh NICA yang kemudian mempersenjatai bekas tawanan tersebut. Pada tanggal 26 oktober 1945 terjadi pertempuran antara pasukan TKR dengan pasukan gabungan sekutu-Inggris dan NICA. Insiden ini berhenti setelah presiden Indonesia dan Bigadir Jenderal Bethell datang ke Magelang pada taggal 2 nopember 1945. Mereka mengadaka pencatatan senjata dan memperoleh kata sepakat yang di tuangkan dalam 12 pasal. Askah persetujuan tersebut di antaranya berisi:
1.      Pihak sekutu akan tetap menetapkan pasukanna di Magelang untuk melindungi dan mengurus evakuasi APWI. Jumlah pasukan sekutu di batasi sesuai keperluan ini.
2.      Jalan Mabrawa-Magelang terbuka sebagai jalur lalu lintas Indonesia-Sekutu.
3.      Sekutu tidak akan mengakui aktivitas NICA dalam badan-badan yang berada di bawahnya.
Pada tanggal 20 Oktober 1945, tentara Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Bethell mendarat di Semarang dengan maksud mengurus tawanan perang dan tentara Jepang yang berada di Jawa Tengah. Kedatangan sekutu ini diboncengi oleh NICA. Kedatangan Sekutu ini mulanya disambut baik, bahkan Gubernur Jawa Tegah Mr Wongsonegoro menyepakati akan menyediakan bahan makanan dan keperluan lain bagi kelancaran tugas Sekutu, sedang Sekutu berjanji tidak akan mengganggu kedaulatan Republik Indonesia.
Namun, ketika pasukan Sekutu dan NICA telah sampai di Ambarawa dan Magelang untuk membebaskan para tawanan tentara Belanda, justru mempersenjatai mereka sehingga menimbulkan amarah pihak Indonesia. Insiden bersenjata timbul di kota Magelang, hingga terjadi pertempuran. Di Magelang, tentara Sekutu bertindak sebagai penguasa yang mencoba melucuti Tentara Keamanan Rakyat dan membuat kekacauan. TKR Resimen Magelang pimpinan M. Sarbini membalas tindakan tersebut dengan mengepung tentara Sekutu dari segala penjuru. Namun mereka selamat dari kehancuran berkat campur tangan Presiden Soekarno yang berhasil menenangkan suasana. Kemudian pasukan Sekutu secara diam-diam meninggalkan Kota Magelang menuju ke benteng Ambarawa. Akibat peristiwa tersebut, Resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan Letnan Kolonel M. Sarbini segera mengadakan pengejaran terhadap mereka. Gerakan mundur tentara Sekutu tertahan di Desa Jambu karena dihadang oleh pasukan Angkatan Muda di bawah pimpinan Oni Sastrodihardjo yang diperkuat oleh pasukan gabungan dari Ambarawa, Suruh dan Surakarta.
Tentara Sekutu kembali dihadang oleh Batalyon I Suryosumpeno di Ngipik. Pada saat pengunduran, tentara Sekutu mencoba menduduki dua desa di sekitar Ambarawa. Pasukan Indonesia di bawah pimpinan Letnan Kolonel Isdiman berusaha membebaskan kedua desa tersebut, Letnan Kolonel Isdiman gugur. Sejak gugurnya Letkol Isdiman, Komandan Divisi V Banyumas, Soedirman merasa kehilangan perwira terbaiknya dan ia langsung turun ke lapangan untuk memimpin pertempuran. Kehadiran Kolonel Sudirman memberikan nafas baru kepada pasukan-pasukan RI. Koordinasi diadakan diantara komando-komando sektor dan pengepungan terhadap musuh semakin ketat. Siasat yang diterapkan adalah serangan pendadakan serentak di semua sektor. Bala bantuan terus mengalir dari Yogyakarta, Solo, Salatiga, Purwokerto, Magelang, Semarang, dan lain-lain.
Tanggal 23 Nopember 1945 ketika matahari mulai terbit, mulailah tembak-menembak dengan pasukan Sekutu yang bertahan di kompleks gereja dan pekuburan Belanda di Jalan Margo Agung. Pasukan Indonesia antara lain dari Yon Imam Adrongi, Yon Soeharto dan Yon Sugeng. Tentara Sekutu mengerahkan tawanan-tawanan Jepang dengan diperkuat tanknya, menyusup ke kedudukan Indonesia dari arah belakang, karena itu pasukan Indonesia pindah ke Bedono.
Pada tanggal 11 Desember 1945, Kolonel Soedirman mengadakan rapat dengan para Komandan Sektor TKR dan Laskar. Pada tanggal 12 Desember 1945 jam 04.30 pagi, serangan mulai dilancarkan. Pertempuran berkobar di Ambarawa. Satu setengah jam kemudian, jalan raya Semarang-Ambarawa dikuasai oleh kesatuan-kesatuan TKR. Pertempuran Ambarawa berlangsung sengit, Kolonel Soedirman langsung memimpin pasukannya yang menggunakan taktik gelar supit urang, atau pengepungan rangkap sehingga musuh benar-benar terkurung. Suplai dan komunikasi dengan pasukan induknya terputus sama sekali. Setelah bertempur selama 4 hari, pada tanggal 15 Desember 1945 pertempuran berakhir dan Indonesia berhasil merebut Ambarawa dan Sekutu dibuat mundur ke Semarang.
Kemenangan pertempuran ini kini diabadikan dengan didirikannya Monumen Palagan Ambarawa dan diperingatinya Hari Jadi TNI Angkatan Darat atau Hari Juang Kartika.
6.     Pertempuran Medan Area
Operasi-operasi militer Inggris semakin intensif dilaksanakan dan kantor gubernur terpaksa dipindahkan ke kantor walikota. Markas Divisi II TKR dipindahkan pula ke Pematang Siantar. Demikian pula Laskar-laskar Pemuda memindahkan markasnya masing-masing ke luar kota Medan untuk mengadakan konsolidasi. Pasukan laskar masih bertempur tanpa adanya kesatuan komando, maupun koordinasi. Lambat laun mereka menyadari kelemahan ini setelah beberapa kali menderita kerugian.
Atas perakasa Dewan Pertahanan Daerah, maka diundang para komandan laskar untuk berunding di Tebing Tinggi selama 2 hari pada tanggal 8-10 Agustus 1946 untuk membahas masalah perjuangan. Akhirnya mereka sepakat membentuk Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area (KRLMA). Konsekuensinya dari pembentukan komando ini, Laskar-laskar dibebaskan dari organisasi induknya masing-masing. Kapten Nip Karim dipilih sebagai Komandan dan Marzuki Lubis sebagai Kepala Staf. Markas Komando berada di Two Rivers. KRLMA terdiri dari 5 batalyon dan 1 kompi istimewa dengan pembagian wilayah dan tanggung jawab pasti.
Atas prakarsa pimpinan Divisi Gajah dan KRIRMA pada 10 Oktober 1941 disetujui untuk mengadakan serangan bersama. Sasaran yang akan direbut di Medan Timur adalah Kampung Sukarame, Sungai Kerah. Di Medan barat ialah Padang Bulan, Petisah, Jalan Pringgan, sedangkan di Medan selatan adalah kota Matsum yang akan jadi sasarannya. rencana gerakan ditentukan, pasukan akan bergerak sepanjang jalan Medan-Belawan. Hari “H” ditentukan tgl 27 Oktober 1946 pada jam 20.00, sasaran pertama Meda timur dan Medan selatan. Tepat pada hari “H”, Batalyon A Resimen Laskar rakyat di bawah Bahar bergerak menduduki Pasar Tiga bagian Kampung Sukarame, sedangkan Batalyon B menuju ke kota Matsum dan menduduki Jalan Mahkamah dan Jalan Utama. Di Medan barat Batalyon 2 Resimen lasykar rakyat dan pasukan Ilyas Malik bergerak menduduki jalan Pringgan, kuburan China dan Jalan Binjei.
Patut diketahui, bahwa beberapa waktu yang lalu, pihak Inggris telah menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada Belanda. Pada saat sebagian pasukan Inggris bersiap-siap untuk ditarik dan digantikan oleh pasukan Belanda, pasukan kita menyerang mereka. Gerakan-gerakan batalyon-batalyon Resimen Lasykar Rakyat Medan Area rupanya tercium oleh pihak Inggris/Belanda. Daerah Medan selatan dihujani dengan tembakan mortir. Pasukan kita membalas tembakan dan berhasil mengehentikannya.
Sementara itu Inggris menyerang seluruh Medan selatan. Pertempuran jarak dekat berkobar di dalam kota. Pada keesokan harinya kota Matsum bagian timur diserang kembali. Pasukan Inggris yang berada di Jalan Ismailiah berhasil dipukul mundur.
Sementara pertempuran berlangsung, keluar perintah pada 3 November 1946 gencetan senjata diadakan dalam rangka penarikan pasukan Inggris dan pada gencatan senjata itu dilakukan, digunakan untuk berunding menentukan garis demarkasi. Pendudukan Inggris secara resmi diserahkan kepada Belanda pada tanggal 15 November 1946.Tiga hari setelah Inggris meninggalkan kota Medan, Belanda mulai melanggar gencatan senjata. Di pulau Brayan pada tanggal 21 November, Belanda merampas harta benda penduduk, dan pada hari berikutnya Belanda membuat persoalan lagi dengan menembaki pos-pos pasukan Laskar di Stasiun Mabar, juga Padang Bulan ditembaki.Pihak Laskar membalas. Kolonel Schalten ditembak ketika meliwati di depan pos Lasykar. Belanda membalas dengan serangan besar-besaran di pelosok kota. Angkatan Udara Belanda melakukan pengeboman, sementara itu di front Medan selatan di Jalan Mahkamah kita mendapat tekanan berat, tapi di Sukarame gerakan pasukan Belanda dapat dihentikan.Pada tanggal 1 Desember 1946 pasukan kita mulai menembakkan mortir ke sasaran pangkalan Udara Polonia dan Sungai Mati. Keesokan harinya Belanda menyerang kembali daerah belakang kota. Kampung Besar, Mabar, Deli Tua, Pancur Bata dan Padang Bulan ditembaki dan di bom. Tentu tujuannya adalah memotong bantuan logistik bagi pasukan yang berada di kota. Tapi walaupun demikian, moral pasukan kita makin tinggi berkat kemenangan yang dicapai.
Karena merasa terdesak, Belanda meminta kepada Pimpinan RI agar tembak menembak dihentikan dengan dalih untuk memastikan garis demarkasi yang membatasi wilayah kekuasaan masing-masing. Dengan adanya demarkasi baru, pasukan-pasukan yang berhasil merebut tempat-tempat di dalam kota, terpaksa ditarik mundur.Selagi kita akan mengadakan konsolidasi di Two Rivers, Tanjung Morawa, Binjai dan Tembung, mereka diserang oleh Belanda. Pertempuran berjalan sepanjang malam. Serangan Belanda pada tanggal 30 Desember 1946 ini benar-benar melumpuhkan kekuatan laskar kita. Daerah kedudukan laskar satu demi satu jatuh ke tangan Belanda. Dalam serangan Belanda berhasil menguasai Sungai Sikambing, sehingga dapat menerobos ke segala arah.Perkembangan perjuangan di Medan menarik perhatian Panglima Komandemen Sumatera. Ia menilai bahwa perjuangan yang dilakukan oleh Resimen Lasykar Rakyat Medan Area, ialah karena kebijakan sendiri. Komandemen memutuskan membentuk komando baru, yang dipimpin oleh Letkol Sucipto. Serah terima komando dilakukan pada tanggal 24 Januari 1947 di Tanjung Morawa. Sejak itu pasukan-pasukan TRI memasuki Front Medan Area, termasuk bantuan dari Aceh yang bergabung dalam Resimen Istimewa Medan Area.
Dalam waktu 3 minggu Komando Medan Area (KMA) mengadakan konsolidasi, disusun rencana serangan baru terhadap kota Medan. Kekuatannya sekitar 5 batalyon dengan pembagian sasaran yang tepat. Hari “H” ditentukan 15 Februari 1947 dan jam “j” adalah pukul 06.00. Sayang karena kesalahan komunikasi serangan ini tidak dilakukan secara serentak, tapi walaupun demikian serangan umum ini berhasil membuat Belanda kalang kabut sepanjang malam. Karena tidak memiliki senjata berat, jalannya pertempuran tidak berobah. menjelang subuh pasukan kita mundur ke Mariendal. Serangan umum 15 Februari 1947 ini adalah serangan besar terakhir yang dilancarkan oleh pejoang-pejoang di Medan Area.
Sampai menjelang Agresi Militer ke I Belanda, yang mana pasukan RI di Medan Area berjumlah yang riel sebesar 7 batalyon dan tetap pada kedudukan semula yang membagi Front Medan Area atas beberapa sektor, ialah Medan timur, Medan selatan, Medan barat dan Medan utara. Dan begitu pula membagi Medan atas 4 sektor yang sama, dan dengan demikian mereka langsung berhadapan dengan pasukan kita.Pada saat terjadi Agresi Militer Belanda ke I, Belanda melancarkan serangannya terhadap pasukan RI ke semua sektor. Perlawanan terhadap Belanda hampir 1 minggu, dan setelah itu pasukan-pasukan RI mengundurkan diri dari Medan Area.
Kesimpulan:Pertempuran di Medan Area merupakan perlawanan yang paling sengit dan panjang di Sumatera Timur, yang berlangsung hampir 2 tahun. Dalam peristiwa ini ialah motivasi rakyat dan Pemuda Pejuang yang tidak mau dijajah dengan disertai sikap ulet dan pantang menyerah. Tapi walaupun demikian bagaimana pun kuatnya motivasi, tanpa dilandasi kerjasama dan koordinasi yang baik, maka setiap kegiatan dapat mengalami kegagalan. Sejarah telah membuktikan betapa pahitnya keadaan ini. (Penulis adalah pejoang ’45 dan mantan tawanan).
7.     Bandung Lautan Api
Peristiwa Bandung Lautan Api adalah peristiwa kebakaran besar yang terjadi di kota Bandung, provinsi Jawa Barat pada bulan Maret 1946. Dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk membakar rumah dan harta benda mereka, meninggalkan kota menuju pegunungan di daerah selatan Bandung. Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda menguasai kota tersebut. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan, pada tanggal 24 Maret 1946. Kol. Abdoel Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi III, mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan untuk meninggalkan Kota Bandung. Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan kota dan malam itu pembakaran kota berlangsung. Selanjutnya TRI melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung.
Ultimatum agar Tentara Republik Indonesia (TRI) meninggalkan kota dan rakyat, melahirkan politik "bumihangus". Rakyat tidak rela Kota Bandung dimanfaatkan oleh musuh. Mereka mengungsi ke arah selatan bersama para pejuang. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan, pada tanggal 24 Maret 1946.
Kolonel Abdul Haris Nasution selaku Komandan Divisi III, mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan rakyat untuk meninggalkan Kota Bandung. Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan kota.
Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat dengan maksud agar Sekutu tidak dapat menggunakannya lagi. Di sana-sini asap hitam mengepul membubung tinggi di udara. Semua listrik mati. Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang paling seru terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat pabrik mesiu yang besar milik Sekutu. TRI bermaksud menghancurkan gudang mesiu tersebut. Untuk itu diutuslah pemuda Muhammad Toha dan Ramdan. Kedua pemuda itu berhasil meledakkan gudang tersebut dengan granat tangan. Gudang besar itu meledak dan terbakar, tetapi kedua pemuda itu pun ikut terbakar di dalamnya. Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan maka pada jam 21.00 itu juga ikut keluar kota. Sejak saat itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Tetapi api masih membubung membakar kota. Dan Bandung pun berubah menjadi lautan api.
Pembumihangusan Bandung tersebut merupakan tindakan yang tepat, karena kekuatan TRI dan rakyat tidak akan sanggup melawan pihak musuh yang berkekuatan besar. Selanjutnya TRI bersama rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini melahirkan lagu "Halo-Halo Bandung" yang bersemangat membakar daya juang rakyat Indonesia.
Bandung Lautan Api kemudian menjadi istilah yang terkenal setelah peristiwa pembakaran itu. Banyak yang bertanya-tanya darimana istilah ini berawal. Almarhum Jenderal Besar A.H Nasution teringat saat melakukan pertemuan di Regentsweg (sekarang Jalan Dewi Sartika), setelah kembali dari pertemuannya dengan Sutan Sjahrir di Jakarta, untuk memutuskan tindakan apa yang akan dilakukan terhadap Kota Bandung setelah menerima ultimatum Inggris.
Jadi saya kembali dari Jakarta, setelah bicara dengan Sjahrir itu. Memang dalam pembicaraan itu di Regentsweg, di pertemuan itu, berbicaralah semua orang. Nah, disitu timbul pendapat dari Rukana, Komandan Polisi Militer di Bandung. Dia berpendapat, “Mari kita bikin Bandung Selatan menjadi lautan api.” Yang dia sebut lautan api, tetapi sebenarnya lautan air”
A.H Nasution, 1 Mei 1997 Istilah Bandung Lautan Api muncul pula di harian Suara Merdeka tanggal 26 Maret 1946. Seorang wartawan muda saat itu, yaitu Atje Bastaman, menyaksikan pemandangan pembakaran Bandung dari bukit Gunung Leutik di sekitar Pameungpeuk, Garut. Dari puncak itu Atje Bastaman melihat Bandung yang memerah dari Cicadas sampai dengan Cimindi.
Setelah tiba di Tasikmalaya, Atje Bastaman dengan bersemangat segera menulis berita dan memberi judul Bandoeng Djadi Laoetan Api. Namun karena kurangnya ruang untuk tulisan judulnya, maka judul berita diperpendek menjadi Bandoeng Laoetan Api.

8.     Peristiwa Merah Putih di Manado
Peristiwa ini terjadi tanggal 14 Februari 1946, para pemuda bergabun g dengan pasukan KNIL Kompeni VII bersama laskar R akyat dari barisan pejuang melakukan perebutan kekuasaan pemerinytahan di Manado, Tomohon, dan Minahasa. Sekitar 600 pasukan dan pejabat Belanda berhasil di tahan. Pada 16 Januari 1946 mereka mengeluarkan surat selebaran. Yn ag menyatakna bahwa selutuh kekuasaan di Manado telah berada di tangan bangsa Indonesia untuk memperkuat RI para pemuda menyusun pasukan keamanna dengan nama Pasukan Pemuda Indonesia yang di pimpin oleh Mayor Waisan.
Bendera merah putih di kibarkan diseluruh wilayah Minahasa hamper selama satu bhulan, dari tanggal 14 Februari 1946. Dr.Sam Raatulangi diangkat sebagai gubernur Sulawesi di tugaskan untuk memperjuangkan keamanan dan kedaulatan rakyar Sulawesi. Ia memerintah pembentukan badan perjuangan Pusat Keselamatan Rakyat. Dr.Sam Ratulangi membuat petesi yang di tandatangani oleh 540 pemuka masyarakat Sulawesi. Dalam petesi ini menyatakan bahwa seluruh rakyat Sulawesi tidak dapat di pisahkan dari RI. Oleh karena Petesi itu pada tahun 1946 Sam Ratulangi di tangkap dan di buang ke Serui.  

9.     Pertempuran Margarana
Dalam rentang waktu 1945-1950, suasana Indonesia tidak kondusif. Banyak sekali pertempuran-pertempuran yang terjadi. Salah satu pertempuran di daerah terjadi di Bali, disebut Pertempuran Margarana yang terjadi tanggal 18 November 1946. Pertempuran ini diawali dengan terbentuknya Negara Indonesia Timur. Ketika NIT telah terbentuk, Belanda mencoba mengajak beberapa tokoh Indonesia untuk ikut bergabung.
Seorang Bali yang diajak bergabung adalah I Gusti Ngurah Rai bersama anak buahnya. Tapi, dengan tegas, pemuda Ngurah Rai menolak. I Gusti Ngurah Rai lahir di Desa Carangsari, Badung, Bali, pada 30 Januari 1917. Ia merupakan Komandan Resimen Sunda Ketjil ketika Indonesia sudah merdeka. Dan merupakan pemimpin kesatuannya dalam Pertempuran Margarana, Bali.
Penolakan ini berbuntut panjang. I Gusti Ngurah Rai juga mendapat komando bahwa dirinya dan anak buahnya harus merebut senjata dari NICA yang ada di Tabanan. Tanggal 18 November 1946, rencana tersebut dilaksanakan dengan baik dan mereka kembali ke desa Marga. Tapi, dua hari kemudian—tepatnya tanggal 20 November 1946, Belanda mengepung desa Marga.
Kemudian, terjadi baku tembak antara pasukan Nica dengan pasukan Ngurah Rai. Pada pertempuran yang seru itu pasukan bagian depan Belanda banyak yang mati tertembak. Belanda langsung mendatangkan bala bantuan pesawat pengebom dari Makassar. Dalam pertempuran yang sengit itu semua anggota pasukan Ngurah Rai bertekad takkan mundur sampai titik darah penghabisan. Di sinilah pasukan Ngurah Rai mengadakan "Puputan" sehingga pasukan yang berjumlah 96 orang itu semuanya gugur, termasuk Ngurah Rai sendiri. Sebaliknya, di pihak Belanda ada lebih kurang 400 orang yang tewas. Untuk mengenang peristiwa tersebut kini pada bekas arena pertempuran itu didirikan Tugu Pahlawan Taman Pujaan Bangsa. Dan nama I Gusti Ngurah Rai diabadikan menjadi nama bandara udara Ngurah Rai.

10.                         Perjanjian Linggarjati
Setelah intermeso yang disebabkan terjadinya kup di Yogya, yang menyebabkan cabinet Sjahrir II menyerahkan kekuasaannya kepada Presiden Soekarno, maka pada bulan Agusuts, Presiden menugaskan Sjahrir kembali untuk membentuk kebinet. Pada tanggal 2 Oktober 1946, Sjahrir berhasil membentuk kabinetnya. Kabinet Sjahrir II, yang diberi mandat untuk “berunding atas dasar merdeka 100 %”. Kabinet membentuk delegasi untuk berunding dengan pihak Belanda yang terdiri atas Sjahrir, Amir Sjarifuddin, Moh Roem, A.K Gani, Leimena, Soesanto Tirtoprojo, Soedarsono.
Sementara ini Negeri Belanda pada bulan Juli terjadi pergantian cabinet. Perdana Menteri Schermerhorn (Partai Buruh) diganti oleh I.J.M Beel (Partai Rakyat Katolik). Untuk menyelesaikan persoalan Indonesia, diangkat suatu komisi dengan Undang Undang yang dinamakan Komisi Jenderal (Commisie Generaal) yang terdiri atas  Schermerhorn (mantan Menteri), Van Poll, De Boer dan F Sanders sebagai sekjennya, Komisi Jenderal diberi wewenang bertindak sebagai wakil khusus tertinggi dan tugas mempersiapkan pembentukan orde “politik baru di Hindia-Belanda”
Pemerintah Inggris mengangkat Lord Killeam, wakil (Commisioner) khusus Inggris untuk Asia Tenggara, menggantikan Lord Inverchapel. Terlihat adanya keinginan untuk mencapai penyelesaian politik baik dari pihak Belanda maupun Inggris.
Pada tanggal 18 September Komisi Jenderal sampai di Jakarta. Pada tanggal 30 September Killeam mengadakan makan siang dengan Sjahrir, Schermerhorn dan Wright (Wakil Killeam). Setelah makan siang Schermerhorn dan Sjahrir berbicara sendiri. Dalam pembicaraan informal itu, Schermerhorn menguraikan secara garis besar tujuan Komisi Jenderal dan dibicarakan pula beberapa hal yang berkenaan dengan acara perundingan. Sjahrir mengemukakan pendapatnya bahwa sebaiknya delegasi Indonesia dipimpin oleh Dwi-Tunggal Soekarno-Hatta.
Ternyata saran ini pada prinsipnya disetujui oleh Schermerhorn. Hal ini merupakan perubahan besar dalam pandangan politik pemerintah Belanda. Dalam perundingan Hoge Veluwe, pemerintah Belanda menolak bentuk perjanjian Internasional, karena dalam Preambulenya dinyatakan : “… Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Presidennya, Ir Soekarno…” berdasarkan alasan bahwa Presiden Soekarno dianggap sebagai “Kolaborator Jepang”. Meskipun banyak orang Belanda tetap memandang Presiden Soekarno tetap seperti itu, tetapi ternyata Pemerintah Belanda melepaskan Pandangan yang salah itu. Dengan disetujui Soekarno-Hatta untuk ikut serta dalam perundingan, yang masih dipersoalkan oleh Schemerhorn hanya tempat berunding. Delegasi Belanda tidak dapat menerima Yogya, sedang Soekarno-Hatta tidak dapat menerima Jakarta sebagai tempat berunding.
Bagi pihak Indonesia, keikut sertaan Soekarno-Hatta dalam perundingan merupakan suatu keberhasilan. Dunia luar dengan demikian akan memandang Republik Indonesia sebagai negara (meskipun belum diakui de jure), karena telah memenuhi syarat, yakni wilayah tertentu, pemerintah yang nyata yang dipimpin oleh seorang kepala negara (Presiden), cabinet dengan perdana mentrinya, dan adanya perwakilan rakyat (KNIP), dan karena tercapainya persetujuan gancatan senjata (yang akan diuraikan dibawah ini), dan adanya tentara regular. Tidak lagi seperti yang digambarkan oleh Belanda sebagai suatu pemberontakan beberapa “ekstrimis” yang dipimpin oleh “kolabor Jepang”.
Soekarno-Hatta dan Sjahrir sejak kedatangan Belanda sudah sependapat, bahwa disatu pihak harus dicapai persutujuan melalui perundingan dengan Belanda dengan mencapai hasil sebesar mungkin, dipihak lain harus memperkuat wilayah-wilayah Indonesia yang kita kuasai secara fisik dan administrative dan menegakan kedudukan kita di dunia Internasional. Dalam rangka ini perlu dimanfaatkan kehadiran tentara Inggris yang berdasarkan kebijakan Pemerintah Inggris tidak bermaksud menegakkan kembali Pemerintah Belanda. Oleh karenanya, Soekarno-Hatta sejak semula bersedia ikut dalam perundingan dan bertanggung jawab atas hasil-hasilnya.
Sementara itu pada akhir bulan Desember 1945 keadaan Jakarta menjadi sangat berbahaya untuk Soekarno-Hatta, karena serdadu-serdadu KNIL yang tidak disiplin dan teratur mendarat di Tanjung Priok, sehingga demi keamanan Presiden dan Wakil Presiden dipustuskan untuk berhijrah ke Yogyakarta. Tempat tersebut adalah tempat terbaik untuk mengkonsolidasikan kekuatan Republik Indonesia, sementara Sjahrir ditugaskan untuk mengadakan hubungan dengan dunia luar dan berunding dengan Belanda.
Maka dari itu ketika Presiden menerima kabar dari Sjahrir yang dibawa oleh Sudarpo sebagai kurir mengenai persetujuan pihak Belanda atas keikut sertaan Presiden dan Wakil Presiden dalam perundingan, Presiden dan Wakil Presiden segera menyatakan kesediaannya dengan syarat perundingan tidak diadakan di Jakarta.
Pendapat Soekarno-Hatta atas perlunya mereka dalam perundingan diperkuat oleh kunjungan Lord Killearn ke Yogya tanggal 29 Agustus untuk menemui Hatta, Sjahrir dan para Menteri. Inilah untuk pertama kali pejabat tertinggi Inggris berkunjung ke Yogya. Presiden tidak ditemui karena sakit. Lord Killearn dalam kunjungannya ini menerangkan kedudukannya sebagai penengah antara pihak Indonesia dan pihak Belanda dan bahwa tentara Inggris akan meninggalkan Indonesia pada tanggal 30 November 1946.
Yang perlu diputuskan hanya tinggal tempat perundingan. Atas saran Ibu Maria Ulfah, menteri sosial yang berasal dari Kuningan dan mengatahui keadaan sekitarnya, kepada Sjahrir dipilih Linggajati, suatu tempat peristirahatan dekat Kuningan yang iklimnya nyaman serta tidak jauh dari Jakarta dan terletak di daerah RI. Presiden dan Wakil Presiden sebaiknya tinggal di Kuningan.
Dengan pertimbangan kedudukan Soekarno-Hatta, setelah dirundingkan mereka berdua sebaiknya tidak memimpin delegasi, mengingat kedudukannya sebagai Pemimpin Negara. Dengan kehadiran mereka dekat dengan tempat perundingan, mereka dapat mengikutinya jalannya perundingan dan mengambil keputusan akhir.
Tujuan Pimpinan Republik dan delegasi dengan menjalankan perundingan dan apakah tujuannya tercapai.
Sejak awal Hoge Veluwe terdapat 2 tujuan utama, yaitu :
1.      berusaha agar Republik Indonesia diakui oleh sebanyak mungkin negara didunia, sehingga perjuangan bangsa kita tidak lagi dianggap sebagai “gerakan Nasional” dalam suatu negara Jajahan, tetapi sebagai negara yang berdaulat penuh,
2.      mempertahankan kekuatan fisik yang telah dibangun.
Pemimpin-pemimpin sadar sepenuhnya bahwa tujuan pertama itu tidak dapat dicapai sekaligus. Tetapi Republik Indonesia, betapapun terbatas wilayahnya, dapat menjadi batu lompatan untuk mencapai tujuan terakhir, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi wilayah Hindia-Belanda.
Sehubungan dengan tujuan ke2, perlu saya kemukakan bahwa suatu perundingan harus dilakukan atas dasar kekuatan-kekuatan Pemerintah Republik dan Delegasinya dalam perundingan ialah rakyat kita yang dengan tegas menolak untuk dijajah kembali. Tentara merupakan ujung tombak perjuangan rakyat kita. Pendapat yang dianut oleh banyak peneliti politik asing bahwa Pemerintah/Delegasi dan tentara merupakan 2 kekuatan yang berdiri sendiri pada dasarnya adalah salah. Delegasi telah membuktikan bahwa dalam perundingan mereka dapat mengambil keputusan-keputusan yang menyangkut bidang Militer (misalnya keputusan mengadakan gencatan senjata 14 Oktober 1946 dan hijrah satuan-satuan TNI yang diputuskan dalam rangka (Perjanjian Renville). Akan tetapi ketentuan yang melemahkan atau mengakibatkan penghapusan tentara kita ditolak karena ketentuan demikian melemahkan pemerintah sendiri.
Dengan adanya Font Militer yang jauhnya beratus-ratus kilometer maka kontak senjata dan tindakan permusuhan lainnya antara Belanda dan TNI/Laskar Rakyat tidak dapat dielakkan, kecuali jika ada perintah dari pimpinan tentara dari kedua belah pihak, berdasarkan suatu persetujuan gencatan senjata diadakan pada tanggal 7 Oktober itu ditandatangani pada tanggal 14 Oktober 1946.
Isi perjanjian Linggarjati antara lain:
1.      pemerintah RI dan Belanda bersama-sama membentuk Negara federasi bernama Republik Indonesia Serikat
2.      Negara Indonesia Serikat tetap terikat dalam ikatan kerja sama dengan kerajaan Belanda, dengan wadah Uni Indonesia Belanda yang di ketuai oleh Ratu Belanda.

Setelah naskah di tandatangani, muncul pro dan kontra di masyarakat, golongan yang pro adalah golongan sosialis yang tergabung dalam sayap kiri. Dan golongan yang kontra adalah golongan nasionals, islam dan sekuler yang tergabung dalam gerakan Benteng Republik Indonesia. Namun dengan penambahan KNIP, pemerintahan RI berhasil mendapat dukungan KNIP. Maka pada tanggal 25 Maret 1947 pihak Indonesia menyetujui Perjanjian Linggarjati.
Diskusikanlah Masalah-Masalah Berikut ini!
1.      Apa Latar Belakang Terjadinya pertempuran Medan Area?
2.      diskusikan hasil-hasil perundingan Linggarjati, apa dampaknya bagi perkembangan Indomesia?
 







11.                          Agresi Militer Belanda I dan Perjanjian Renville
Agresi Militer Belanda I atau Operasi Produk adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947. Agresi yang merupakan pelanggaran dari Persetujuan Linggajati ini menggunakan kode "Operatie Product".
Tanggal 15 Juli 1947, van Mook mengeluarkan ultimatum agar supaya RI menarik mundur pasukan sejauh 10 km. dari garis demarkasi. Tentu pimpinan RI menolak permintaan Belanda ini.
Tujuan utama agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak. Namun sebagai kedok untuk dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai Aksi Polisionil, dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri. Letnan Gubernur Jenderal Belanda, Dr. H.J. van Mook menyampaikan pidato radio di mana dia menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Linggajati. Pada saat itu jumlah tentara Belanda telah mencapai lebih dari 100.000 orang, dengan persenjataan yang modern, termasuk persenjataan berat yang dihibahkan oleh tentara Inggris dan tentara Australia.
Serangan di beberapa daerah, seperti di Jawa Timur, bahkan telah dilancarkan tentara Belanda sejak tanggal 21 Juli malam, sehingga dalam bukunya, J. A. Moor menulis agresi militer Belanda I dimulai tanggal 20 Juli 1947. Belanda berhasil menerobos ke daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia di Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Fokus serangan tentara Belanda di tiga tempat, yaitu Sumatera Timur, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sumatera Timur, sasaran mereka adalah daerah perkebunan tembakau, di Jawa Tengah mereka menguasai seluruh pantai utara, dan di Jawa Timur, sasaran utamanya adalah wilayah di mana terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula.
Pada agresi militer pertama ini, Belanda juga mengerahkan kedua pasukan khusus, yaitu Korps Speciaale Troepen (KST) di bawah Westerling yang kini berpangkat Kapten, dan Pasukan Para I (1e para compagnie) di bawah Kapten C. Sisselaar. Pasukan KST (pengembangan dari DST) yang sejak kembali dari pembantaian di Sulawesi Selatan belum pernah beraksi lagi, kini ditugaskan tidak hanya di Jawa, melainkan dikirim juga ke Sumatera.
Agresi tentara Belanda berhasil merebut daerah-daerah di wilayah Republik Indonesia yang sangat penting dan kaya seperti kota pelabuhan, perkebunan dan pertambangan.
Pada 29 Juli 1947, pesawat Dakota Republik dengan simbol Palang Merah di badan pesawat yang membawa obat-obatan dari Singapura, sumbangan Palang Merah Malaya ditembak jatuh oleh Belanda dan mengakibatkan tewasnya Komodor Muda Udara Mas Agustinus Adisutjipto, Komodor Muda Udara dr. Abdulrahman Saleh dan Perwira Muda Udara I Adisumarmo Wiryokusumo.
Pada 9 Desember 1947, terjadi Pembantaian Rawagede dimana tentara Belanda membantai 431 penduduk desa Rawagede, yang terletak di antara Karawang dan Bekasi, Jawa Barat.
Republik Indonesia secara resmi mengadukan agresi militer Belanda ke PBB, karena agresi militer tersebut dinilai telah melanggar suatu perjanjian Internasional, yaitu Persetujuan Linggajati.
Belanda ternyata tidak memperhitungkan reaksi keras dari dunia internasional, termasuk Inggris, yang tidak lagi menyetujui penyelesaian secara militer. Atas permintaan India dan Australia, pada 31 Juli 1947 masalah agresi militer yang dilancarkan Belanda dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB, yang kemudian mengeluarkan Resolusi No. 27 tanggal 1 Agustus 1947, yang isinya menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan.
Dewan Keamanan PBB de facto mengakui eksistensi Republik Indonesia. Hal ini terbukti dalam semua resolusi PBB sejak tahun 1947, Dewan Keamanan PBB secara resmi menggunakan nama INDONESIA, dan bukan Netherlands Indies. Sejak resolusi pertama, yaitu resolusi No. 27 tanggal 1 Augustus 1947, kemudian resolusi No. 30 dan 31 tanggal 25 August 1947, resolusi No. 36 tanggal 1 November 1947, serta resolusi No. 67 tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB selalu menyebutkan konflik antara Republik Indonesia dengan Belanda sebagai The Indonesian Question.
Atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947 Pemerintah Belanda akhirnya menyatakan akan menerima resolusi Dewan Keamanan untuk menghentikan pertempuran.
Pada 17 Agustus 1947 Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda menerima Resolusi Dewan Keamanan untuk melakukan gencatan senjata, dan pada 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda. Komite ini awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia), dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN), karena beranggotakan tiga negara, yaitu Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang netral. Australia diwakili oleh Richard C. Kirby, Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland dan Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank Graham.
Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Indonesia dan Belanda yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral, USS Renville, yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dan ditengahi oleh Komisi Tiga Negara (KTN), Committee of Good Offices for Indonesia, yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia. Delegasi Indonesia pada perjanjian Renville, tampak di antaranya Agus Salim dan Achmad Soebardjo.
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin Harahap. Delegasi Kerajaan Belanda dipimpin oleh Kolonel KNIL R. Abdul Kadir Wijoyoatmojo.
Pemerintah RI dan Belanda sebelumnya pada 17 Agustus 1947 sepakat untuk melakukan gencatan senjata hingga ditandatanganinya Persetujuan Renville, tapi pertempuran terus terjadi antara tentara Belanda dengan berbagai laskar-laskar yang tidak termasuk TNI, dan sesekali unit pasukan TNI juga terlibat baku tembak dengan tentara Belanda, seperti yang terjadi antara Karawang dan Bekasi.
Kesepakatan yang diambil dari Perjanjian Renville adalah sebagai berikut :
1.      Belanda hanya mengakui Jawa tengah, Yogyakarta, dan Sumatra sebagai bagian wilayah Republik Indonesia
2.      Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda
3.      TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur Indonesia di Yogyakarta

Sebagai hasil Persetujuan Renville, pihak Republik harus mengosongkan enclave (kantong-kantong) yang dikuasai TNI, dan pada bulan Februari 1948, Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah.
Tidak semua pejuang Republik yang tergabung dalam berbagai laskar, seperti Barisan Bambu Runcing dan Laskar Hizbullah/Sabillilah di bawah pimpinan Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, mematuhi hasil Persetujuan Renville tersebut. Mereka terus melakukan perlawanan bersenjata terhadap tentara Belanda. Setelah Soekarno dan Hatta ditangkap di Yogyakarta, S.M. Kartosuwiryo, yang menolak jabatan Menteri Muda Pertahanan dalam Kabinet Amir Syarifuddin, Menganggap Negara Indonesia telah Kalah dan Bubar, kemudian ia mendirikan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Hingga pada 7 Agustus 1949, di wilayah yang masih dikuasai Belanda waktu itu, Kartosuwiryo menyatakan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII).
12.                         Agresi Militer Belanda II
Agresi Militer Belanda II atau Operasi Gagak terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar